Rabu, 26 Desember 2012

When I was...

Aku dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang mengalami pasang surut ujian yang menurutku luar biasa, walaupun kalau dilihat ke bawah, aku bersyukur masih lebih baik daripada keluarga lain yang nasibnya jauh lebih buruk dari keluargaku. Ketika kecil sampai usia 6 tahun, Bapak dalam masa jaya, jadi direktur di sebuah perusahaan. Katanya aku kenyang dibawa jalan-jalan kemana-mana, fasilitas yang tercukupi untuk ukuran tahun 80-an. Tapi sayang, masih kecil, jadi aku belum terlalu ingat, hanya foto-foto yang jadi saksi bisu ...;)
Namun kebahagiaan dalam wujud materi itu berubah dan membalik keluargaku dalam kondisi yang kacau, perusahaan Bapakku bangkrut, ekonomi keluargaku berada dalam kondisi yang tidak begitu baik. Alhamdulillah ibuku masih bekerja sebagai guru di sebuah SD Negeri. Walaupun gaji guru saat itu sangat jauh dari sejahtera, tidak seperti saat ini, ditambah hasil kerja Bapak yang sering tak menentu. Kami anak-anaknya bisa sekolah sampai ke jenjang Perguruan Tinggi.
Ibu selalu mengatakan, kami tidak punya harta yang dapat diwariskan, hanya ada satu rumah BTN yang kami tinggali,warisan kami adalah membiayai anak-anak untuk sekolah supaya bisa memenuhi semua kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada orang tua kelak.
Karena mungkin aku anak perempuan satu-satunya, paling tua, jadi segala kesulitan, kesenangan yg ibuku alami, aku pun merasakan...kesabaran, kunci utama yang menjadikan ayah dan ibuku tetap bersatu dalam keadaan susah dan senang. Kesadaran akan masa depan anak-anaknya juga membuat ibuku kuat menghadapi ujian.
Pelajaran-demi pelajaran akan terus kupetik, sebagai pengingat diri untuk mengikuti arah yang sesuai dan menghindari jalan yang sekiranya menjerumuskan. Mensyukuri keberadaan kita saat ini adalah pembuka menuju kebahagiaan yang abadi. Syukur bukan hanya sekedar pada banyaknya harta, yang justru seringkali membuat orang menjadi kufur. Syukur bukan hanya pada pujian  yang seringkali membuat orang menjadi ghurur. Bersyukurlah atas segala kenikmatan walaupun kenikmatan itu hanya sedikit. Karena dari yang sedikit lama-lama bisa jadi bukit...

Selasa, 11 Desember 2012

Keluarga Berkualitas


Bersatunya dua insan yang berbeda dalam naungan pernikahan  adalah suatu peristiwa sakral. Terbentuknya suatu keluarga bukan hanya janji yang diucapkan dan didengarkan oleh sekian banyak undangan yang menghadiri aqad nikah, tapi janji yang akan senantiasa terdengar dan terjaga di ‘Arasy Ilahi.  Menjaga keutuhan, kelanggengan, dan keharmonisan keluarga adalah satu pekerjaan panjang yang melelahkan namun kelelahan itu akan terobati jika seluruh anggota keluarga memiliki kesamaan visi, mengejar kedudukan yang mulia di surga yang nan abadi. Baiti, Jannati...Rumahku, Surgaku...., demikian Rasulullah  SAW memosisikan sebuah keluarga yang harmonis dan berkualitas yang akan senantiasa berlimpah rasa saling mencintai, menjadi tempat yang nyaman untuk kembali dari hiruk pikuknya putaran aktivitas dunia.
Hadirnya keluarga yang harmonis dan berkualitas, sangat didambakan di negeri kita ini. Keluarga berkualitas akan menjadi poros perubahan di masyarakat, mereka tidak hanya sibuk dengan urusan masing-masing, namun justru menjadi wadah pemberdayaan masyarakat, dan melahirkan generasi penerus perjuangan bangsa yang tangguh dan kokoh secara intelektual, fisik, emosional dan ruhiyah.
Keluarga harus menjadi tonggak utama penyebaran nilai-nilai Islam dan kebaikan di negeri yang semakin tergerus arus globalisasi. Alangkah miris hati nurani dengan meningkatnya angka perceraian dari tahun ke tahun. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. (Republika co.id)  Tentu saja hal ini sangat disayangkan, karena dengan tingginya tingkat perceraian, semakin banyak pula permasalahan sosial yang muncul.
 

Tergesa-gesa

Allah memberikan nikmat waktu luang yang sangat banyak, tapi kadang atau malah sering kita tak bersyukur atas nikmat tersebut. Terkadang kita sendiri yang mengulur-ulur waktu, dan ketika datang deadline akhirnya grasak-grusuk mengejar target dalam waktu yang sangat terbatas. Dan hasilnya? Sering tidak optimal. Sadar atau tidak sadar hal ini sudah sering terjadi sejak kita kecil. Ketika sekolah sampai kuliah, masih banyak diantara kita yang belajar dengan sistem SKS alias Sistem Kebut Semalam, besok ujian malam ini baru belajar. Ketika mengerjakan tugas pun demikian, tugas yang diberikan sebulan lalu baru dikerjakan sehari sebelum dikumpulkan. Ketika sudah bekerja pun ternyata masih tetap sama, kebiasaan seperti itu sepertinya perlu latihan ekstra supaya dapat hilang ya minimal berkurang lah...
Tergesa-gesa ternyata memang sudah jadi tabiatnya manusia sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra : 11
Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana dia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia (bersifat) tergesa-gesa.
Di dalam beberapa hal, terutama dalam melakukan amal-amal soleh, kita memang harus tergesa-gesa, jangan sampai tertinggal, fastabiqul khairat....bergegas mendahului orang lain untuk berbuat kebaikan, itu sifat tergesa-gesa yang positif.
Tergesa-gesa yang negatif ???selain masalah tugas, dalam kehidupan nyata kita sering melakukan tindakan tergesa-gesa yang lebih mengarah pada tindakan yang irasional. Contohnya...pas online, ada iklan lewat, barang keluaran terbaru, diskonnya menarik, langsung aja dibeli tanpa pikir panjang, padahal ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Atau mungkin bisa jadi untuk hal-hal yang baik, misalnya ngajak orang berbuat baik (dakwah), tapi langsung action alias ekstrim tanpa pake strategi  akibatnya bukan bikin orang jadi baek eh malah dia menjauh dari kita dan justru  membenci apa yang menurut kita baik.Kalau sudah begini yang repot bukan hanya kita, tapi orang lain, komunitas, atau bahkan agama jadi kena batunya.
Jadi bertindak bijak dan rasionallah dalam melakukan apapun.
an sebagaimana dia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia (bersifat) tergesa-gesa.